Apakah Boleh Menelan Ludah Saat Puasa Menurut Islam

Apakah Boleh Menelan Ludah Saat Puasa Menurut Islam

Puasa Arafah Hari Minggu, Bolehkah?

Berdasarkan hasil sidang isbat Kementerian Agama, diketahui bahwasanya Idul Adha 2024 atau 1445 Hijriah akan jatuh pada Senin, 17 Juni 2024. Oleh karena itu, puasa Arafah dapat dikerjakan umat Islam pada Minggu, 16 Juni 2024 yang bertepatan dengan 9 Dzulhijjah 1445 H.

Tanggal ini menimbulkan pertanyaan baru. Bolehkah puasa Arafah pada hari Minggu? Sebab, Minggu adalah hari rayanya orang Nasrani.

Dirangkum dari buku Catatan Fikih Puasa Sunnah karya Hari Ahadi, sebagian ulama menyatakan hukumnya makruh. Di sisi lain, beberapa ulama justru menganjurkannya untuk menyelisihi orang-orang Nasrani. Sebab, termasuk karakteristik hari raya ialah tidak berpuasa.

Bahkan, ada riwayat yang menganjurkan seorang muslim berpuasa pada hari Ahad (Minggu). Dari Ummu Salamah, "Sesungguhnya Rasulullah SAW paling sering berpuasa di hari Sabtu dan Minggu. Beliau bersabda,

إنَّهما يوما عيد للمُشْرِكِينَ فَأُحِبُّ أَنْ أُخَالِفَهُمْ

Artinya: "Sesungguhnya dua hari tersebut ialah hari raya orang-orang musyrik dan saya ingin menyelisihi mereka." (HR An-Nasa'i dan dihukumi shahih oleh Ibnu Khuzaimah).

Namun, hadits di atas dihukumi lemah oleh para ulama. Di antaranya adalah Asy-Syaikh Nashir dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah, Dha'if at-Targhib, dan Takhrij al-Misykah. Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata,

"Pendapat yang paling tepat ialah berpuasa di hari Ahad (Minggu) tidak makruh dan tidak juga disunnahkan, sama seperti puasa di hari Selasa dan Rabu."

Dalam pendapatnya yang lain, sang syaikh berkata,

لا يكره صوم يوم السبت ولا صوم يوم الأحد

Artinya: "Tidak makruh berpuasa di hari Sabtu maupun di hari Ahad." (Fath Dzil Jalali wal Ikram, VII/458)

Demikian penjelasan lengkap seputar hukum puasa Arafah tanpa Tarwiyah. Semoga menjawab pertanyaan detikers, ya!

Arisan menjadi sebuah tradisi yang sering kita jumpai di masyarakat, mulai dari ibu-ibu rumah tangga hingga para pekerja kantoran, arisan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Namun, bagi umat Muslim, penting untuk memastikan bahwa setiap aktivitas yang dilakukan sesuai dengan ajaran agama. Lalu, bagaimana sebenarnya hukum arisan dalam Islam? Nah, untuk menjawab pertanyaan tersebut, yuk simak artikel berikut!

Pandangan Islam Terhadap Arisan

Arisan adalah kegiatan dimana sekelompok orang mengumpulkan sejumlah uang secara berkala, kemudian setiap anggotanya akan menerima seluruh uang yang telah terkumpul secara bergantian. Biasanya, giliran tersebut ditentukan melalui undian atau kesepakatan bersama. Dalam pelaksanaannya, sebenarnya arisan memiliki tujuan yang baik. Namun, bagaimana Islam memandang kegiatan ini?

Dalam Islam, segala aktivitas keuangan dan sosial harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Pada dasarnya, arisan bukanlah sesuatu yang dilarang dalam Islam. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar kegiatan ini tetap berada dalam lingkup yang sesuai dengan syariah. Arisan tidak boleh mengandung unsur riba (bunga) atau perjudian. Riba dan perjudian adalah dua hal yang jelas-jelas dilarang dalam Islam. Allah SWT berfirman:

الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (Q.S Al-Baqarah ayat 275).

Maka dari itu, jika dalam arisan terdapat unsur tambahan uang yang harus dibayarkan atau ketidakpastian yang bersifat spekulatif, maka arisan tersebut bisa masuk dalam kategori yang dilarang.

Arisan yang Diperbolehkan dalam Islam

Arisan yang diperbolehkan dalam Islam adalah arisan yang murni sebagai bentuk tabungan bersama tanpa ada tambahan atau bunga. Selain itu, arisan juga harus dilakukan dengan niat yang baik dan dilandasi dengan kesepakatan yang jelas di antara para pesertanya. Transparansi dan kejujuran dalam pelaksanaan arisan sangat penting agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

Sebagaimana yang diajarkan, setiap transaksi atau perjanjian harus didasarkan pada prinsip keadilan dan kejujuran. Dan sebisa mungkin arisan tersebut, membawa dampak baik kepada seluruh anggotanya. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang menghilangkan satu kesulitan seorang mukmin di dunia, maka Allah akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat…” (HR. Muslim).

Cincin Yang Boleh Dipakai Laki-Laki Dalam Islam Menurut Tinjauan Syariat

Cincin Yang Boleh Dipakai Laki-Laki Dalam Islam Menurut Tinjauan Syariat sangatlah penting untuk anda ketahui. Karena islam adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal perhiasan yang boleh dipakai oleh laki-laki. Salah satu perhiasan yang sering menjadi perbincangan adalah cincin. Bagi sebagian besar laki-laki, cincin bukan hanya sekadar aksesoris, tetapi juga memiliki makna simbolis, terutama dalam konteks pernikahan. Namun, ada aturan-aturan tertentu dalam Islam yang mengatur jenis cincin yang boleh dipakai oleh laki-laki.

Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang jenis-jenis cincin yang diperbolehkan bagi laki-laki dalam Islam, landasan syariatnya, serta bagaimana memilih cincin yang sesuai dengan ajaran Islam.

Landasan Syariat tentang Pemakaian Cincin oleh Laki-Laki

Dalam Islam, penggunaan perhiasan oleh laki-laki diatur dengan cukup ketat. Hal ini didasarkan pada hadits-hadits Rasulullah SAW dan pendapat para ulama. Pada dasarnya, laki-laki diperbolehkan memakai cincin, tetapi dengan beberapa syarat dan batasan tertentu.

Salah satu hadits yang menjadi landasan tentang pemakaian cincin adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, di mana Rasulullah SAW bersabda:

"Sesungguhnya Nabi SAW memakai cincin dari perak dan memberikan cap pada surat-suratnya dengan cincin itu." (HR. Muslim)

Dari hadits ini, jelas bahwa Rasulullah SAW mengenakan cincin dari bahan perak. Hal ini menjadi dasar bahwa cincin perak diperbolehkan untuk dipakai oleh laki-laki. Namun, ada beberapa bahan cincin yang tidak diperbolehkan dalam Islam, terutama emas.

Jenis-Jenis Cincin yang Boleh Dipakai oleh Laki-Laki dalam Islam

Cincin perak adalah jenis cincin yang paling umum dan dianjurkan bagi laki-laki dalam Islam. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, Rasulullah SAW sendiri mengenakan cincin perak. Cincin perak tidak hanya diperbolehkan, tetapi juga memiliki nilai simbolis yang mendalam dalam tradisi Islam. Selain itu, perak juga merupakan logam yang relatif terjangkau dan mudah didapatkan, sehingga menjadi pilihan yang populer.

- Keutamaan Cincin Perak: Cincin perak dianggap lebih sederhana dan tidak mencolok, yang sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan kesederhanaan. Selain itu, perak memiliki sifat antibakteri, yang membuatnya lebih higienis untuk dipakai sehari-hari.

2. Cincin dengan Batu Mulia

Laki-laki juga diperbolehkan mengenakan cincin yang dilengkapi dengan batu mulia, asalkan cincin tersebut terbuat dari perak atau logam lain yang diperbolehkan. Beberapa batu mulia yang sering digunakan dalam cincin adalah akik, zamrud, safir, dan rubi. Setiap batu mulia memiliki makna dan simbolisme tersendiri dalam berbagai tradisi.

- Batu Akik: Batu akik adalah salah satu batu mulia yang paling populer di kalangan umat Islam. Batu ini sering dikaitkan dengan keindahan dan keberuntungan. Dalam tradisi Islam, mengenakan cincin dengan batu akik dianggap membawa berkah dan perlindungan.

- Batu Zamrud: Zamrud adalah batu mulia yang berwarna hijau dan sering dikaitkan dengan kebijaksanaan dan ketenangan. Batu ini juga dianggap sebagai simbol kemakmuran dan kesehatan.

- Batu Safir dan Rubi: Safir biru dan rubi merah adalah batu mulia yang juga sering digunakan dalam cincin perak. Safir melambangkan ketenangan dan kepercayaan diri, sementara rubi melambangkan cinta dan keberanian.

3. Cincin dari Logam Lain selain Emas

Selain perak, laki-laki diperbolehkan memakai cincin dari logam lain seperti besi, titanium, atau platinum, selama logam tersebut bukan emas. Emas secara tegas dilarang untuk dipakai oleh laki-laki dalam Islam, berdasarkan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:

"Rasulullah SAW melarang kami memakai cincin dari emas." (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, jika ingin memilih cincin dari logam lain, pastikan logam tersebut bukan emas atau campuran emas.

4. Cincin Kayu atau Bahan Alam Lainnya

Cincin yang terbuat dari kayu, tanduk, atau bahan alami lainnya juga diperbolehkan dalam Islam. Meskipun tidak sepopuler cincin logam, cincin kayu menawarkan alternatif yang unik dan alami. Cincin kayu sering dikaitkan dengan kesederhanaan dan keberlanjutan, yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam tentang menjaga alam dan hidup sederhana.

Baca juga: Checklist Persiapan Pernikahan Dari Awal Hingga Akhir.

Jenis-Jenis Cincin yang Tidak Diperbolehkan bagi Laki-Laki dalam Islam

Cincin emas secara tegas dilarang untuk dipakai oleh laki-laki dalam Islam. Larangan ini didasarkan pada hadits-hadits yang kuat, di mana Rasulullah SAW melarang laki-laki dari mengenakan emas. Emas dianggap sebagai logam yang identik dengan kemewahan dan ketinggian, yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tentang kesederhanaan.

- Alasan Larangan Emas: Selain alasan spiritual, beberapa ulama juga berpendapat bahwa emas dapat menimbulkan rasa sombong dan pamer, yang bertentangan dengan nilai-nilai kesederhanaan dan kerendahan hati yang diajarkan dalam Islam.

2. Cincin yang Mengandung Unsur Syirik atau Takhayul

Islam sangat menentang segala bentuk syirik (menyekutukan Allah) dan takhayul. Oleh karena itu, cincin yang mengandung simbol-simbol atau benda-benda yang dipercaya memiliki kekuatan magis atau mistis tidak diperbolehkan. Misalnya, cincin yang diukir dengan simbol-simbol tertentu yang diyakini membawa keberuntungan atau perlindungan selain Allah.

- Contoh Larangan: Cincin dengan simbol bintang lima, mata dewa, atau lambang zodiak tertentu yang diyakini memiliki kekuatan tertentu. Islam mengajarkan bahwa hanya Allah yang memiliki kekuasaan mutlak, dan mempercayai kekuatan selain Allah dianggap sebagai perbuatan syirik.

3. Cincin dengan Ukiran yang Mengandung Unsur Haram

Cincin yang diukir dengan gambar atau tulisan yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti gambar makhluk hidup, terutama manusia atau hewan, yang detail, tidak diperbolehkan. Ini didasarkan pada larangan Islam terhadap pembuatan dan penggunaan gambar atau patung makhluk hidup.

- Alternatif: Jika ingin mengukir cincin, lebih baik memilih ukiran yang berupa kaligrafi Arab, motif geometris, atau nama-nama Allah (asmaul husna) yang sesuai dengan ajaran Islam.

Tips Memilih Cincin yang Sesuai dengan Ajaran Islam

1. Pastikan Materialnya Halal dan Sesuai Syariat

Ketika memilih cincin, pastikan material yang digunakan sesuai dengan syariat. Pilih logam seperti perak, besi, atau titanium, dan hindari emas. Periksa juga apakah cincin tersebut mengandung campuran logam yang haram atau tidak.

2. Pilih Desain yang Sederhana dan Elegan

Dalam Islam, kesederhanaan sangat dihargai. Oleh karena itu, pilih desain cincin yang sederhana namun tetap elegan. Hindari desain yang terlalu mencolok atau berlebihan, karena ini dapat menimbulkan kesan sombong atau pamer.

3. Hindari Ukiran yang Bertentangan dengan Ajaran Islam

Jika ingin mengukir cincin, pastikan ukiran tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kaligrafi Arab atau motif geometris Islami adalah pilihan yang baik dan sesuai dengan syariat.

4. Pertimbangkan Kenyamanan dan Kualitas

Selain sesuai syariat, pastikan cincin yang dipilih nyaman untuk dipakai sehari-hari. Pilih ukuran yang pas dan bahan yang tidak menyebabkan alergi atau iritasi kulit. Kualitas bahan juga penting agar cincin awet dan tahan lama.

5. Konsultasikan dengan Ulama atau Ahli Fiqih

Jika ragu tentang jenis cincin yang akan dipilih, konsultasikan dengan ulama atau ahli fiqih untuk mendapatkan nasihat yang sesuai dengan syariat. Mereka dapat memberikan panduan yang lebih spesifik sesuai dengan keadaan dan kebutuhan Anda.

Pemakaian Cincin dalam Kehidupan Sehari-Hari

1. Pemakaian Cincin dalam Pernikahan

Dalam budaya Islam, cincin sering digunakan sebagai simbol pernikahan. Cincin kawin atau cincin nikah biasanya diberikan oleh suami kepada istri sebagai tanda ikatan suci mereka. Namun, penting untuk diingat bahwa dalam Islam, simbol utama dari pernikahan adalah ijab kabul dan mahar, bukan cincin.

- Cincin Kawin untuk Laki-Laki: Laki-laki dapat mengenakan cincin kawin dari perak atau logam lain yang diperbolehkan. Pilih desain yang sederhana dan tidak mencolok.

2. Pemakaian Cincin dalam Bisnis atau Jabatan

Beberapa orang mungkin memakai cincin sebagai tanda status atau jabatan, terutama dalam konteks bisnis atau pemerintahan. Dalam Islam, selama cincin tersebut tidak terbuat dari emas dan tidak dipakai dengan niat sombong, maka diperbolehkan.

- Hindari Niat Sombong: Pastikan pemakaian cincin tidak dimaksudkan untuk menunjukkan kekayaan atau status, melainkan sebagai bagian dari etika atau tradisi dalam pekerjaan.

3. Pemakaian Cincin dalam Ritual atau Ibadah

Beberapa orang mungkin menggunakan cincin tertentu saat melakukan ritual ibadah, seperti shalat atau dzikir. Meskipun tidak ada larangan langsung dalam Islam, penting untuk memastikan bahwa cincin tersebut tidak mengandung unsur syirik atau kepercayaan pada kekuatan selain Allah.

- Fokus pada Ibadah: Jangan biarkan cincin atau perhiasan lainnya mengalihkan perhatian dari ibadah utama. Yang terpenting adalah niat dan kesungguhan dalam beribadah kepada Allah.

Dalam Islam, cincin merupakan perhiasan yang boleh dikenakan oleh laki-laki, asalkan sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan. Cincin perak adalah jenis cincin yang paling dianjurkan, sementara cincin emas secara tegas dilarang. Selain itu, desain dan ukiran cincin juga harus sesuai dengan nilai-nilai Islam, menghindari segala bentuk syirik atau unsur haram.

Memilih cincin yang sesuai dengan ajaran Islam bukan hanya tentang mematuhi aturan, tetapi juga tentang mengekspresikan identitas sebagai seorang Muslim yang taat. Cincin yang dipilih dengan benar akan menjadi perhiasan yang tidak hanya indah, tetapi juga diberkahi oleh Allah SWT.

Dengan pemahaman yang tepat dan panduan yang sesuai, pemakaian cincin oleh laki-laki dalam Islam dapat menjadi bagian dari kehidupan yang sejalan dengan ajaran agama, tanpa mengesampingkan nilai-nilai kesederhanaan, kerendahan hati, dan ketaatan kepada Allah.

SERAMBINEWS.COM - Umumnya orang mulai anak-anak hingga dewasa menyukai main game online.

Maka tak heran, mereka menghabiskan waktu berjam-jam sembari duduk untuk bermain game seperti game PUBG, Free Fire atau Mobile Legends atau berbagai game lain yang mengandung unsur kekerasan.

Namun apakah hukumnya jika main game dilakukan saat ibadah puasa?

Main game adalah sesuatu yang menyenangkan karena dapat menghilangkan rasa bosan bagi sebagian orang.

Bahkan, memainkan game sudah jadi kebiasaan sehari-hari bagi sebagian orang.

Baca juga: Apa Hukum Mengorek Telinga Pakai Cutton Bud? Apakah Membatalkan Puasa?Simak Penjelasan Buya Yahya

Namun, bagaimana jika seseorang main game saat berpuasa, apakah puasanya diterima? Apakah aktivitas itu tergolong haram?

Terkait hukum main game saat puasa, Buya Yahya memberikan penjelasan.

Dilansir dari kanal YouTube Al-Bahjah TV Kamis (14/3/2024), Buya Yahya mengatakan main game saat puasa boleh-boleh saja, artinya tidak haram.

Permainan atau hiburan pada dasarnya bukanlah hal yang dilarang dalam Islam.

"Kami sampaikan kepada ananda, Insya Allah puasanya diterima karena dia sudah beribadah puasa," kata Buya.

Hanya saja perlu diingat, game yang dimaksud adalah game yang tidak ada perjudiannya.

Baca juga: Junub di Malam Ramadhan Lalu Ketiduran Sampai Waktu Subuh, Gimana Puasanya? Simak Kata Buya Yahya

Jika permainan game tidak ada perjudiannya adalah hal yang mubah, "hal yang boleh-boleh saja," terang Buya.

Namun perlu diingat bahwa jika main game saat puasa, hendaknya jangan terlalu berlebihan dan jangan sampai meninggalkan ibadah.

Misalnya, orang tersebut main game di bulan puasa sampai mengganggu waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk membaca Alquran.

Terjadi kesalahan. Tunggu sebentar dan coba lagi.

Hukum Puasa Arafah Tanpa Tarwiyah

Dilansir detikHikmah, tidak dijumpai adanya dalil shahih yang mengkhususkan pelaksanaan puasa Tarwiyah. Para ulama pun menyandarkan pelaksanaannya pada hadits keutamaan beramal pada 10 hari pertama Dzulhijjah.

Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut:

مَا مِنْ أَيَّامِ العَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ العَشْرِ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعُ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

Artinya: "Tiada hari-hari yang amalan shalih di dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya, 'Tidak pula jihad di jalan Allah?' Rasulullah menjawab, 'Tidak juga jihad di jalan Allah. Kecuali seorang yang keluar dengan membawa jiwa dan hartanya dan dia tidak kembali setelah itu (mati syahid).'" (HR Bukhari no 969 dan Tirmidzi no 757).

Di samping itu, hadits yang menyebutkan keutamaan puasa Tarwiyah dihukumi dhoif atau bahkan palsu oleh para ulama. Hadits tersebut berasal dari Ali al-Muhairi dari at-Thibbi dari Abu Sholeh dari Ibnu Abbas RA. Hadits yang dimaksud adalah:

مَنْ صَامَ الْعَشْرَ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ صَوْمُ شَهْرٍ ، وَلَهُ بِصَوْمٍ يَوْمِ التَّرْوِيَةِ سَنَةٌ ، وَلَهُ بِصَوْمٍ يَوْمِ عَرَفَةَ سَنَتَانِ

Artinya: "Siapa yang puasa 10 hari, maka untuk setiap harinya seperti puasa sebulan. Dan untuk puasa pada hari tarwiyah seperti puasa setahun, sedangkan untuk puasa hari Arafah, seperti puasa dua tahun."

Ibnul Jauzi berkata mengenainya,

وهذا حديث لا يصح . قَالَ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ : الطبي كذاب . وَقَالَ ابْن حِبَّانَ : وضوح الكذب فيه أظهر من أن يحتاج إلى وصفه

Artinya: "Hadits ini tidak shahih. Sulaiman at-Taimi mengatakan, 'at-Thibbi seorang pendusta'. Ibnu Hibban menilai, 'at-Thibbi jelas-jelas pendusta. Sangat jelas sehingga tidak perlu dijelaskan.'"

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya seorang muslim boleh berpuasa Arafah tanpa didahului puasa Tarwiyah. Perlu dicatat bahwasanya puasa Arafah bagi orang yang tidak berhaji hukumnya sunnah.

Namun, untuk jemaah haji yang pada 9 Dzulhijjah sedang wukuf di Arafah, disunnahkan untuk tidak berpuasa. Dikutip dari buku Amalan Awal Dzulhijjah hingga Hari Tasyrik oleh Muhammad Abduh Tuasikal, Imam An-Nawawi berkata,

"Adapun hukum puasa Arafah menurut Imam Syafi'i dan ulama Syafi'iyah: disunnahkan puasa Arafah bagi yang tidak berwukuf di Arafah. Adapun orang yang sedang berhaji dan saat itu berada di Arafah, menurut Imam Syafi'i secara ringkas dan ini juga menurut ulama Syafi'iyah bahwa disunnahkan bagi mereka untuk tidak berpuasa karena adanya hadits dari Ummul Fadhl." (Al-Majmu 6:428)

Hadits Ummul Fadhl yang dimaksud Imam Nawawi redaksinya adalah sebagai berikut:

عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِي وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحٍ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفُ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ

Artinya: "Dari Ummul Fadhl binti Al-Harits, bahwa orang-orang berbantahan di dekatnya pada hari Arafah tentang puasa Nabi. Sebagian mereka mengatakan, 'Beliau berpuasa.' Sebagian lainnya mengatakan, 'Beliau tidak berpuasa.' Maka Ummul Fadhl mengirimkan semangkok susu kepada beliau, ketika beliau sedang berhenti di atas unta beliau, maka beliau meminumnya." (HR Bukhari no 1988 dan Muslim no 1123)

Pandangan Ulama Mengenai Arisan

Lalu, bagaimana pandangan ulama mengenai arisan? Beberapa ulama berbeda pendapat, tetapi mayoritas sepakat bahwa arisan diperbolehkan selama tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan syariah. Misalnya, dalam buku “Halal dan Haram dalam Islam” yang ditulis oleh Syaikh Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa arisan diperbolehkan jika dilakukan dengan cara yang benar dan sesuai dengan prinsip syariah.

Ulama lainnya juga menekankan bahwa dalam pelaksanaan arisan di perlukan niat yang baik dan kesepakatan yang jelas. Jika arisan dilakukan dengan tujuan untuk saling membantu dan mempererat tali silaturahmi, maka hal tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip Islam yang mendorong umatnya untuk saling tolong-menolong dan menjaga silaturahmi.

Itulah tadi pembahasan mengenai hukum arisan menurut pandangan Islam. Jadi, arisan dalam Islam diperbolehkan selama dilakukan dengan cara yang benar dan tidak mengandung unsur riba atau perjudian. Dengan memahami dan mengikuti syariat yang berlaku, arisan bisa menjadi sarana yang bermanfaat untuk membantu sesama dan mempererat tali silaturahmi. Nah, sekian artikel kali ini. Yuk, ikuti informasi seputar Islam lainnya bersama kami di Rumah Zakat.

Perasaan kamu tentang artikel ini ?

TRIBUNSUMSEL.COM- Naik kendaraan untuk menempuh perjalanan sembari berpuasa dapat membuat kondisi tubuh tidak fit sehingga berujung mabuk perjalanan dan muntah.

Gejala mabuk perjalanan biasanya ditandai dengan kondisi pusing, muncuk keringat dingin, mual dan muntah.

Lantas apakah mabuk perjalanan atau muntah saat dalam perjalanan dapat membatalkan puasa?

Melansir laman kemenag.go.id, muntah sejatinya bisa membatalkan puasa, namun dengan catatan apabila sengaja dilakukan.

Hal ini sesuai dengan hadis riwayat Tirmidzi, yang artinya:

“Barangsiapa terdorong untuk muntah, maka tidak ada qadha baginya. Dan barangsiapa yang sengaja muntah, maka hendaknya mengqadha puasanya.” (HR. Tirmidzi)

Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni, maksud terdorong muntah adalah muntah tanpa disengaja, tapi karena terpaksa muntah.

Artinya, mabuk perjalanan hingga muntah termasuk yang tidak disengaja sehingga tidak membatalkan puasa.

Namun, ada juga ulama yang berpendapat bahwa muntah secara tidak sengaja bisa membatalkan puasa jika ada syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah:

Hal ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Muslim:

“Barangsiapa yang muntah lalu ia menelannya kembali maka wajib baginya qadha.”

Jadi, jika terpaksa harus muntah karena mabuk perjalanan atau hal lainnya, maka disarankan segera berkumur-kumur dan membersihkan mulut.

Baca juga: Hukum Mencicipi Makanan Saat Sedang Berpuasa, Apakah Membatalkan Puasa? Berikut Pandangan Ulama

Baca juga: Puasa Ramadhan Tapi Belum Mandi Wajib Bagaimana Hukumnya? Begini Penjelasannya

Baca juga: Cara Ampuh Mengatasi Gangguan Asam Urat di Bulan Puasa Menurut Dr Zaidul Akbar, Konsumsi Ini

[Hukum Puasa Bagi Orang yang Sedang dalam Perjalanan]

Allah SWT memberikan keringanan bagi orang-orang yang berada dalam kondisi tertentu, seperti sakit, hamil, menyusui, atau dalam perjalanan jauh.

Sehari sebelum Hari Raya Idul Adha, terdapat amalan puasa Arafah dengan keutamaan mulia. Namun, timbul pertanyaan, apakah puasa Arafah boleh dikerjakan tanpa puasa Tarwiyah? Sebab, keduanya terletak pada hari yang berurutan.

Berdasar uraian dalam buku Fikih Puasa karya Ali Musthafa Siregar, puasa Arafah merupakan ibadah yang dilaksanakan sehari dalam setahun, yakni pada 9 Dzulhijjah. Terdapat banyak pendapat terkait asal-muasal penamaannya. Salah satunya adalah karena bertepatan dengan momen Nabi Ibrahim AS mengetahui (arafa) kebenaran mimpinya.

Sementara itu, dirujuk dari buku Amalan Ibadah Bulan Dzulhijjah oleh Hanif Luthfi Lc MA, puasa Tarwiyah dikerjakan pada 8 Dzulhijjah. Istilah tarwiyah berasal dari kata tarawwa bahasa Arab yang artinya membawa bekal air. Sebab, pada 8 Dzulhijjah, jemaah haji akan minum, memberi minum unta tunggangannya, dan membawa air dalam wadah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seorang muslim yang mengerjakan puasa Arafah akan dihapuskan dosanya tahun lalu dan tahun yang akan datang. Diambil dari buku Panduan Praktis Amalan Ibadah di Bulan Dzulhijjah oleh Abu Abdillah Syahrul Fatwa, dari Ibnu Qatadah, Rasulullah menerangkan,

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

Artinya: "Puasa Arafah menghapus dosa tahun yang lalu dan tahun yang akan datang." (HR Muslim no 1662)

Amalan sekali setahun ini sangat sayang apabila ditinggalkan begitu saja. Namun, sebelum mengamalkannya, umat Islam harus tahu seluk-beluknya secara mendetail, termasuk hukum puasa Arafah tanpa Tarwiyah. Berikut ini penjelasan lengkapnya yang telah detikJateng siapkan.